Manusia dan Kepercayaan Dirinya


Bertahun-tahun saya berhenti menulis, tanpa sebab. Membiarkan diri tenggelam dalam ketidakberdayaan. Lalu garis takdir membawa saya pada tulisan ini. Sebuah opini yang timbul dari keresahan.

Kemarin, setelah sekian lama tak berpergian sendiri, saya memutuskan untuk ke rumah seorang Bibi di Cimahi. Keterampilan mengingat tempat yang payah membuat saya harus tersesat. Berkali-kali berganti angkot dan berakhir dengan menerima kebaikan salah seorang sopir yang rela mengantar sampai depan rumah tanpa mau dibayar.

Remaja lain mungkin akan berbangga dengan berucap, "Rezeki anak shaleh."

Alih-alih merasa begitu, saat itu saya malah diliputi ketidaktentuan rasa. Lega karena akhirnya sampai tujuan, merasa bodoh hingga harus tersesat, sedih karena harus merepotkan orang, dan senang sebab memberi wadah untuk orang lain berbuat baik. Saya juga bertanya-tanya, bagaimana bisa, Allah masih melimpahkan begitu banyak kebaikan dan kemudahan bagi saya?

Saya tahu betul, saya bukan seorang yang baik, apa lagi shalehah. Ibadah saya masih sekedarnya, sering kali justru hanya untuk meruntuhkan kewajiban. Saya bukan seorang yang bisa menahan diri untuk tidak membenci, bukan seorang penyabar, dan yang pasti ada banyak dosa yang saya lakukan setiap detik.

Lalu kenapa Allah masih saja memberi saya kebaikan? Apa karena saya shalehah?

Tidak. Saya tidak sepercaya diri itu. Masih banyak dosa kecil dan besar yang masih saya lakukan. Menunda shalat, membentak orang tua, berbohong, menyakiti hati orang lain, banyak. Saya tak bisa menghitungnya.

Maka, alasan yang paling memungkinkan adalah, begini cara Allah untuk membuat saya terus mengingat-Nya. Bukan seorang yang baik saja, masih diberi kebaikan dan kemudahan. Apalagi kalau saya baik? Saya tak bisa membayangkan sebanyak apa yang bisa saya dapat. Seketika, saya teringat sebuah ayat Al-Quran: Maka nikmat apa lagi yang kamu dustakan?. 

Nikmat apa lagi yang aku dustakan?

Comments